Sadnite



SADNITE

Bagi kebanyakan orang, cinta mungkin hal biasa yang mudah untuk didapat dan dirasakan. Cinta bisa mereka genggam hanya dengan sekejap mata memandang, tapi bagiku, cinta tak lebih hanya cerita di negeri impian. Cinta hanyalah mimpi yang tak tahu kapan akan menjadi kenyataan.
Harus ku akui bahwa aku adalah salah satu dari orang-orang yang kurang beruntung dalam dunia percintaan. Hanya cinta dari ayah dan ibukulah  yang menguatkanku untuk terus bertahan dan berharap sampai detik ini. Ya…hanya cinta tulus tak bersyarat dari ayah dan ibu. Hingga umurku menginjak 24 tahun, ketika semua teman-temanku telah memiliki pacar idaman, calon suami bahkan telah menikah dan memiliki keluarga kecil mereka, aku masih berteman dengan hari-hari sepi dimana hanya ada aku dan sejuta anganku tanpa ada cinta dari seorang lelaki untukku.
            Hari berganti hari dan terus seperti itu, kehidupanku terasa hambar dan monoton. Pernah suatu kali ibuku hendak menjodohkanku dengan rekan kerjanya tapi kutolak mentah-mentah. Bukan karena apa-apa tapi aku hanya ingin menemukan sendiri belahan jiwaku. Aku tahu aku bukan wanita sempurna tapi aku yakin Tuhan menciptakan makhluk-Nya lengkap dengan pasangannya. Keyakinan itulah yang sampai saat ini masih tertanam dalam benakku.
Lagi-lagi, kuawali pagiku dengan kegiatan monoton,  ya…apalagi kalau bukan kuliah. “Dewi Candra Kirana, Dewi Candra Kirana!” panggil Pak Beni yang tengah mengecek kehadiran mahasiswanya “Hadir pak!” jawabku seraya membuka pintu kelas dengan nafas terengah. “Kamu terlambat lagi Dewi!” ucapnya sedikit marah. “Wajar pak, Dewi Candra Kirana kan seekor keong pak, wajar kalau jalannya lelet! hahaha" sahut temanku yang sengaja iseng. “Memang sih namaku sama dengan nama tokoh keong mas yang ada di buku cerita rakyat, tapi aku bukan seekor keong” batinku kesal. “Em…maaf pak, sebenarnya saya hanya ingin mengamalkan pepatah bijaksana lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali pak!” jawabku membela diri. Semua teman-temanku tertawa mendengar pembelaanku yang tidak masuk akal itu. Untung saja hari itu Pak Beni sedang berbaik hati sehingga aku boleh mengikuti kuliahnya.
Aku berterimakasih kepada Pak Beni kemudian duduk didekat sahabat karibku, Sonya. “Malam minggu mau kemana wik?” tanyanya tiba-tiba. Aku mencoba menjawab pertanyaan Sonya dengan santai, “Ssst, sudah jangan bahas tentang malam Minggu denganku Son, aku nggak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu”. Sonya hanya tersenyum mendengar jawabanku. “Ah kamu ini, malam minggu kan malam yang panjang, ayo jalan-jalan! kebetulan pacarku punya 3 tiket nonton di Bioskop.” ajaknya sedikit memaksa. “OK lah kalau begitu” jawabku setengah ikhlas. Aku terpaksa menerima ajakannya karena tak enak terus-terusan menolak. Padahal aku hanya takut mengganggu malam minggunya.
Akhirnya setelah kuliah usai, aku menemani Sonya ke lobby untuk menunggu jemputannya. Setelah kurang lebih 10 menit menunggu, terlihat sedan mewah memasuki gerbang. Rupanya, pemilik sedan itu adalah pacar Sonya. “Wik, aku duluan ya!” Ucap Sonya seraya melambaikan tangannya. Aku hanya bisa tersenyum iri melihat kepergiannya. Ku hela nafasku dalam-dalam. “Arrrggghhhh!!! kapan giliranku???” teriakku kesal.
Belum stabil emosiku siang itu, tiba-tiba perasaanku tak enak. “Dewi Candra Kirana!” Tegur pak Beni sambil menepuk bahuku. “Untung kamu masih disini. Sebagai hukuman atas keterlambatanmu tadi, tolong bantu Bapak untuk mengoreksi tugas-tugas yang ada di ruangan Bapak.” Beliau bersikeras menahanku pulang. “Tapi pak!” bantahku dengan ekspresi memelas. “Tidak ada tapi-tapian! Bapak hanya sekedar mencoba untuk mengamalkan pepatah bijak berani terlambat, berani bertanggung jawab”, Pak Beni tertawa dan terlihat  begitu senang bisa mengerjaiku. Akhirnya aku terpaksa menghabiskan sore di kampus bersama tumpukan tugas-tugas hingga pukul 16.30. Benar-benar hari yang melelahkan.
Sesampainya dirumah, kurebahkan badanku yang sudah lemas tak berdaya. Meskipun kucoba untuk memejamkan mata sejenak, tetap saja sulit. Tak lama kemudian, tetanggaku yang baru kelas 5 SD datang ke rumahku lengkap dengan handphone di genggamannya. Dengan cekatan dia memencet keypad hand phone-nya lalu sesekali tersenyum. Kupikir siapa orang yang baru saja dia sms, mungkinkah ibunya? Ah tapi tak mungkin, aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Pada akhirnya, aku hanya bisa tertawa saat mendengar pengakuannya bahwa yang sedang asyik smsan dengannya itu adalah pacarnya. “Waduh aku kalah sama anak kelas 5 SD!!! hihi lucu rasanya.” ucapku malu. Ibuku juga terus-terusan mengolokku setelah mendengarkan cerita cinta anak kelas 5 SD itu.
            Takut kalau Ibu semakin gencar mengolokku, kuputuskan untuk sekedar mencari angin walaupun rasa kantuk menyerangku bertubi-tubi. Kutelusuri kelokan gang-gang perumahan dengan langkah pasti dan kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Ternyata cerahnya malam ini tak bisa mengalahkan dingin yang dari tadi menusuk tulangku.
Untuk melepas rasa kantukku, akhirnya aku mampir ke sebuah warung kopi terkenal persis dekat pos ronda. Walaupun warungnya sederhana, tapi kopinya mantap sehingga banyak pengunjung yang rela mengantri demi mendapatkan secangkir kopi lengkap dengan penganan pendampingnya.
Benar saja, malam itu warung penuh sesak dan sialnya hampir semua pengunjung datang berpasang-pasangan. Melihat ke arah depan sama seperti melihat Popeye dan Olive, melihat ke arah samping kanan sama seperti melihat Bella dan Edward. Mereka terlihat bahagia, tertawa, berpegangan tangan dan…. “Ehhh, kamu Dewi kan?” tiba-tiba saja terdengar suara laki-laki menyapaku. Suara itu tak asing lagi di telingaku. Jantungku seperti berhenti berdetak setelah mengetahui bahwa suara itu adalah suara Bagas, teman SMP-ku yang dulu sempat kutaksir bahkan kutembak lewat sms.
Buru-buru kurapikan rambutku yang mungkin sudah acak-acakan itu. Dengan segera, kulempar senyum termanisku padanya. Dia membalas senyumku lalu mengajakku duduk setelah terlebih dahulu memesan kopi. Bagas tak sedikitpun berubah, dia masih memiliki lesung pipi dan kumis tipis di atas bibirnya. Alis matanya juga masih tebal, menggariskan karismanya yang dulu sempat meluluhlantahkan hatiku. Dan yang terpenting, dia masih Bagas dengan pembawaannya yang begitu kalem dan elegan.
Bagas mulai berbasa-basi, menceritakan tentang pekerjaan dan tempat tinggalnya sekarang. Mataku tak sedikitpun beranjak dari wajahnya. “Apakah ini hanya mimpi? Jika memang iya, aku tak mau bangun dan ingin terus bermimpi seperti ini” gumamku berulang kali.
“Ehh…sekarang ceritakan tentang dirimu semenjak kelulusan kita dari SMP, masa dari tadi aku yang cerita,” Ucap bagas lembut. “Ehh… emm aku, mau cerita apa ya?” jawabku malu. Aku malah salah tingkah di depan Bagas. “Ya, mungkin tentang cowok yang kamu taksir, hehe atau mungkin malah kamu udah menikah wik?” ucapnya sambil tersenyum. “Ehh… belum punya gas”, jawabku malu-malu dan masih salah tingkah. Begitulah, kami terus bercerita mengenang masa-masa SMP kami yang dulu begitu menyenangkan.
Namun kebahagiaan itu sirna seketika saat tak sengaja kulihat cincin emas melingkar di jari manis Bagas. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik menghampiri kami. Dia menggendong bayi mungil yang mirip sekali dengan Bagas.
Lidahku kelu, mulutku tak bisa berucap walau sepatah katapun. “Pa, adek udah bobok nih, mama juga udah ngantuk, beli kopinya udah kan?” demikian ucap wanita itu kepada Bagas. Aku bagaikan es balok yang mencair di dalam kulkas yang dingin. “Maaf ma, papa ketemu teman lama papa ini ma. Wik, perkenalkan ini Gita istriku” ucap Bagas terbata.
Keringat dingin mengucur deras membasahi tengkukku. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kujabat tangan wanita bernama Gita tersebut. Wanita ini cantik dan lembut, tak salah pilih kamu Gas, pikirku menahan sesak. Setelah berbincang-bincang sejenak, akhirnya Bagas dan keluarga kecilnya berpamitan. Tinggallah aku sendiri memandang kosong dua cangkir kopi yang tadi sempat kunikmati bersama Bagas.
“Dewi…dewi apa salahmu apa salah ibumu, hidupmu dirundung pilu. Tak ada yang mau yang menjadikan kamu tuk jadi pengobat pilu, tuk jadi penawar rindu…” Saking sedihnya, sampai-sampai aku berimajinasi tiba-tiba fa’ank “wali” menyanyikanku lagu cari jodoh sambil menjulurkan lidahnya didepan wajahku.
“Husshhh… apa-apaan ini, sadar Wik! dunia belum berakhir hanya karena Bagas sudah tak lagi single. Selama matahari terbit dari timur dan selama bumi masih berputar, kamu harus terus berjuang Wik.” Sambil terus melangkah pulang, kuucapkan mantra penyemangat itu berkali-kali namun seperti dugaanku, mantra itu tak mempan untukku. “Teori!”, teriakku kesal.  
Nguukk…nguukk…nguukk, hand phone ku tiba-tiba bergetar, “Astaga, ternyata sms dari Sonya! Aku lupa kalau ternyata aku punya janji sama dia.” ucapku kaget. Dengan segera, ku buka sms itu, Wik, knp ga’ jd nonton bareng? pdhl tadi aktor utama filmny Brad Pitt lho Wik. Begitulah bunyi sms dari Sonya.
Jleeenggg!… Oh Brad Pitt!!! Teriakku seperti orang gila. Rasanya malam itu aku mau pingsan. Sudah jatuh masih juga tertimpa tangga. Seketika itu pula, Saturday night yang seharusnya indah berubah menjadi “sadnite” terparah sepanjang hidupku.
Setelah kejadian malam itu, aku hanya bisa menikmati hari-hariku yang monoton. Jodoh tak bisa dipaksakan. Sekuat apapun aku berharap dan berjuang untuk menemukan jodohku. Semua akan sia-sia jika memang belum waktunya. Dan yang terpenting, kejadian malam itu telah menngubah pemikiranku bahwa Saturday night tak selamanya berujung indah karena setiap saat bisa saja berubah menjadi “sadnite” terparah sepanjang hidup kita. Tapi aku masih yakin bahwa semua akan indah pada waktunya. Pasti itu!
Perlahan, kuangkat wajah senduku lalu mulai bernyanyi “ Aku baik-baik saja menikmati hidup yang aku punya. Hidupku sangat sempurna, I’m single and very happy! Yeah… I’m single and very happy… Wuyee… I’m single and very happy!” Sore itu, aku bernyanyi dengan keras untuk melepaskan kegalauan yang kurasakan. Lega sekali bisa menyanyikan lagunya mbak Opie Andaresta sekeras ini. “Dewiii… berisik banget sih! fals itu nada kamu! teriak ibu dari dapur.
***

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer