Mimpi Sang Gadis Pesisir


Mimpi Sang Gadis Pesisir

Namaku Siti Anisa. Aku hanyalah seorang gadis dusun yang sederhana. Dusun yang kutinggali ini berada di sekitar pesisir pantai. Ya…dusun kecil yang hampir tak terjamah oleh dunia luar tak terkecuali oleh dunia pendidikan. Dusun ini…setiap hari dihiasi oleh pemandangan dimana anak-anak kecil tak pergi ke sekolah melainkan mencari ikan, membuat garam dan mencari rumput laut untuk membantu ekonomi keluarga mereka. Pemandangan yang membuatku semakin teriris karena dulu akupun mengalami hal serupa. Masa kecilku seakan lekat dengan laut. Tak ada meja dan kursi sekolah, tak ada buku bergambar, dan tak ada bau ruang kelas yang kudambakan.


Bapak dan ibuku bekerja sebagai nelayan, dan seperti kebanyakan penduduk di sini, mereka juga tidak memperhatikan pendidikan anaknya. Di usiaku masih sangat kecil, kuhabiskan hari-hari bersama deburan ombak dan jaring ikan bersama bapak di laut. Laut sudah seperti rumah kedua bagiku.


Saat kecil, aku bermimpi untuk mengisi hidupku dengan hal-hal yang kusukai, salah satunya menjadi seorang guru. Aku berjanji walaupun hidup di dusun terpencil, aku takkan gentar sedikitpun untuk menggapai impianku itu.


Suatu hari, saat aku tengah melepas lelah bersama teman-temanku, aku menceritakan mimpiku menjadi seorang guru. Mereka tertawa dan mengejekku. “Orang pinggiran seperti kita mana bisa menjadi guru!”, teriak temanku tanpa rasa bersalah. Mulai saat itu, aku semakin memantapkan hati dan langkahku. Akan kubuktikan pada teman-teman dan penduduk lainnya bahwa aku tak hanya bisa bermimpi tapi juga bisa mewujudkannya.


Suatu sore, pamanku dari luar kota datang mengunjungi keluargaku dalam rangka liburan semester. Waktu itu umurku baru sekitar 10 tahun, tak kusangka paman membawakanku buku tulis dan pensil. Kedatangan paman  seperti membawa harapan baru dalam hidupku. Kudengar, Paman Seto bekerja sebagai seorang guru SD. Aku melihat ini sebagai peluang sehingga aku tak mau menyia-nyiakan kesempatanku belajar bersama paman.


Sejak hari pertama paman datang, aku berhenti melaut untuk belajar membaca dan menulis bersama paman. Sayang hanya 2 minggu paman singgah di rumahku. Paman berpesan agar aku tak berhenti belajar walaupun tanpanya. Aku pun bertekad untuk terus belajar sampai aku bisa menguasai baca dan tulis.


Kini di usiaku yang ke-18, aku mulai bosan dengan keseharianku bergelut dengan kapal dan jaring ikan. Apalagi sampai saat ini tak ada perubahan di dusun kami. Bekerja bagi anak-anak kecil sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Mereka pun tak mengenal baca dan tulis, sungguh sedih aku melihatnya.


Siang itu aku melamun di bale-bale depan rumah. “Kak Nisa!” panggil Ali, anak tetangga sebelah yang selalu mengganggui hari-hariku. “Apa lagi?” jawabku singkat sambil memasang muka seseram mungkin. Aku yakin dia telah menyiapkan suatu kejutan untukku. “Kali ini ulat bulu, belalang atau kadal yang kau bawa?” tanyaku sekedar memastikan. “Huh kak Anisa jahat, kenapa gitu sih? Kak Anisa nggak pergi melaut?” tanyanya lagi. Aku hanya melempar senyum perpisahan padanya. Dengan memperlihatkan sedikit gigi gingsulku, buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Kupikir, mana ada nelayan yang pergi melaut siang hari seperti ini, ada-ada saja.


Dasar Ali, kalau menyerah begitu saja bukan Ali namanya. Dia berlari menyusulku ke dalam rumah. Baru aku sadar ada yang berbeda darinya saat kulihat ada luka lebam di pelipis kirinya. Kuurungkan niatku untuk bertanya tentang luka tersebut karena dia mulai menangis. Aku berjongkok dan memandangi wajahnya sambil tertawa. “Hei… kamu ini lucu sekali sih adik kecil. Anak cowok kok cengeng! Kenapa? Kelerengmu hilang ya? Atau… celanamu robek terkena kail pancing bapakmu? tanyaku sedikit mengejek. Ali yang masih terisak pun terpaksa tersenyum.


Setelah kuambilkan segelas air putih, dia berhenti menangis kemudian dengan sendirinya dia mulai menceritakan curahan hatinya. Ternyata Ali ingin membeli buku di desa seberang, tapi bapaknya tak mengizinkan dan malah memukul pelipis kirinya dengan pancing. Aku trenyuh mendengar cerita Ali. Tak kusangka, Ali yang usilnya minta ampun itu punya keinginan mulia. Kuusap bahunya lalu kupandangi lagi wajahnya yang lugu itu. “Kamu beneran mau beli buku? Buat apa? Buat bungkus kacang goreng?” tanyaku sambil mengusap bahunya. “A…aku mau belajar baca tulis kak! Kemarin saat aku pergi ke rumah saudaraku, dia sekolah dan belajar baca tulis, Kak” jawabnya terbata. Aku sempat kaget tapi kusembunyikan rasa kaget itu. Memang saudara Ali tinggal di desa seberang, di sana pemikiran masyarakat sudah mulai terbuka khususnya pemikiran tentang pendidikan. “Ah masa anak usil seperti kamu mau belajar, nggak salah dengar nih kakak?” Ucapku dengan nada mengejek. Ali menatapku tajam, tak kuat rasanya aku melihatnya. Aku benar-benar tertawa puas siang itu. Dendamku tentang bingkisan ulat bulu, belalang dan kadal darinya sedikit terbalaskan.


Tak tega melihat wajah Ali yang begitu memelas, aku beranjak menuju lemari kecil dipojok rumah sederhanaku. Kuambil buku peninggalan Paman Seto yang masih tersisa untuk kuberikan padanya. Dia terkejut dan memelukku erat. Sampai-sampai ia tak sempat berterimakasih padaku dan langsung melompat kegirangan. Sejak siang itu, aku dan Ali selalu meluangkan waktu untuk belajar bersama. Aku mengajarinya bagaimana cara membaca dan menulis. Dia begitu antusias dan bersemangat. Semangat Ali itu membangkitkan semangatku yang hampir surut.


Timbul ide untuk membuat sekolah sederhana di dusunku, tapi bapak dan ibu tak memberi restu. Mereka khawatir kalau-kalau tetangga akan mencemooh dan membenciku karena mengajak anak-anak kecil belajar bersama. Beliau berkata kalau beliau tak mau lagi mengakuiku sebagai anaknya kalau aku masih nekat mendirikan sekolah sederhana di dusun kami.


Malam itu aku dan bapak tak pergi melaut karena bapak harus menjaga pos ronda sesuai jadwal yang telah ditentukan. Aku pun berniat untuk bicara empat mata dengan bapak. Baru sekitar jam 7 malam, tapi ibu memberitahuku kalau bapak sudah berada di pos ronda bersama teman-temannya. Dengan langkah pasti aku bergegas menghampiri bapak. Samar-samar ku dengar percakapan bapak dan para tetangga. “Anakmu kui opo wis pancen ora genep tenan to kang? Sekolah wae ora tahu kok yo arep ngedekke sekolahan.”1 ejek salah satu teman bapakku. Yang lainnya pun tak mau kalah. “Lha iyo, gek opo sing arep diwulangke? Njaring iwak? Hahaha… Eneng-eneng wae to kang…kang.”2 Bapak tak sedikitpun menjawab ucapan pedas teman-temannya. Aku benar-benar sudah naik pitam. Kuhampiri pos ronda dengan tangan mengepal, rasanya darahku mulai mendidih. “Pak, dipun timbali ibu.”3 Saat itu juga, kugandeng tangan bapak menuju rumah tanpa berpamitan pada teman-teman bapak yang lain. Untung saja bapak percaya dengan kata-kataku tadi.


Sesampainya diruang tamu, bapak melepaskan gandengan tanganku. Sepertinya beliau bisa membaca isi otakku ini. Sejenak, bapak menghela nafas sambil membetulkan ikatan celana kondornya lalu bergegas menghampiri ibu yang sedang menyiapkan makanan diruang makan. “Masak apa, Bune? Wis Nis gek ayo do maem bareng kene!”4 Kukira bapak akan memarahiku habis-habisan tapi malam itu bapak tak sedikitpun memperlihatkan kekecewaan ataupun kemarahannya padaku.


Dengan wajah setengah masam, aku berjuang setengah mati menyantap makanan yang tersaji dipiringku. Kalau bukan karena takut bapak semakin stres karena ulahku, mungkin sesendok nasipun tak mampu kutelan. Tak lama kemudian, ibu mencoba mencairkan suasana dengan banyolan dan cerita-cerita lucu masa pacaran bapak dan ibu. Aku pun tertawa walau sedikit terpaksa.


“Kak Nisa!” suara Ali membuyarkan lamunanku malam itu. “Iya…” jawabku singkat. Dia berdiri dibalik pintu rumahku. Tangannya yang mungil memegang buku pemberianku tadi siang. “Kenapa?” lanjutku mengintrogasi. “Anu...aku mau belajar Kak sekarang.” ucapnya lugu. Karena malam itu anginnya tak begitu kencang, aku pun mengajak Ali untuk belajar di bale-bale. Aku mulai mengajarinya untuk menulis huruf abjad dengan pelan-pelan. “Kalau mau nulis huruf a, kamu mulai dengan membuat garis setengah melengkung lalu diberi garis cembung di depannya Al, seperti ini nih caranya.” Kira-kira seperti itulah tutorial yang ku ajarkan padanya. Ali mengangguk dan mengikuti instruksi dan contoh yang ku berikan.


Keesokan harinya perasaanku sudah kembali seperti sediakala. Setelah menjalankan sholat subuh berjamaah bersama bapak dan ibu, semuanya terasa lebih nyaman. Tak lama kemudian Ali memanggil-manggil namaku. Tanpa pikir panjang, kuhampiri Ali. Dia masih bersarung dan berpeci lucu sekali. Aku tersenyum. Dia pun tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya yang hampir mirip dengan gawang sepak bola itu. Tak kuduga, dia menyodorkan selembar kertas dan setelah kuamati secara teliti, kertas itu berisi huruf-huruf abjad yang kuajarkan padanya kemarin. Tulisannya lebih mirip dengan ceker ayamku, tapi kuhargai usahanya. Untuk anak sekecil Ali, hal ini sudah merupakan kemajuan pesat, aku pun tak sungkan memuji ketekunan dan kegigihannya. Sebagai hadiah karena kegigihannya, pagi itu juga aku akan mengajaknya jalan-jalan ke pasar yang terletak didesa seberang.


Dinginnya pagi perlahan terhangatkan oleh pancaran sinar matahari yang mulai beranjak dari peraduannya. Warna oranye keemasannya menciptakan pemandangan yang begitu indah, sayang untuk dilewatkan. Setelah berpamitan dengan bapak dan ibu, aku dan Ali pun dengan semangat berangkat ke desa seberang menggunakan sepeda ontel. Sepeda ontel yang kami pakai adalah sepeda peninggalan kakekku. Modelnya sudah sangat tua, jalannya pun tak lagi secepat sepeda zaman sekarang. “Lumayan daripada jalan kaki”, gumamku sambil terus mengayuh pedal tanpa henti. Ali terlihat bahagia, sepanjang jalan dia terus saja mengoceh tentang kehebatannya menulis huruf abjad dalam waktu semalam. Katanya, dia rela tak berburu jangkrik demi menyelesaikan karya agungnya itu. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.


Setelah 30 menit mengayuh sepeda, akhirnya kami tiba di tempat yang kami tuju. Disana banyak penjual yang menggelar dagangannya. Kami pun kalap mata. Ali berlari kesana kemari sekedar memilih-milih buku dan pensil. Saking semangatnya, tak sengaja dia menyenggol bangku didekatnya. Penjual itu marah dan minta ganti rugi karena dagangannya berantakan tak karuan.


“Tigangdasa ewu, Mbak!”5 Pedagang tersebut benar-benar telah menguras seluruh isi dompetku. Parahnya lagi, kami tak mendapatkan apa-apa dari uang yang kami berikan tadi. Aku mencoba bersabar, tak tega rasanya melihat ekspresi Ali yang sudah pucat pasi seperti nasi basi itu. Kuhibur dia semampuku, dan akhirnya dia mengungkapkan penyesalannya tentang keteledorannya menyenggol bangku pedagang itu. Ali…Ali, kukira dia anak kecil biasa yang masih berfikir seperti anak kecil lain pada umumnya, ternyata dia berbeda.


Hampir satu jam kami duduk bertahan di lapak pedagang yang tadi meminta ganti rugi. Entah karena mendapat hidayah atau karena kasihan, tiba-tiba pedagang itu memberikan plastik hitam kepada kami. Isinya benar-benar membuat kami kaget bercampur gembira, ada buku, pensil serta penghapus. Kami berterimakasih kepada penjual tersebut lalu bergegas pulang karena hari telah beranjak sore.


Betapa kagetnya aku sesampainya di teras rumah. Bapak sedang berembuk dengan teman lamanya untuk menjodohkanku dengan pria pilihan bapak. Disisi lain, Ibu mengkodeku untuk tetap tenang dan tidak gegabah. Setelah mengucap salam, aku langsung ke dapur dengan wajah manyun. Aku yakin ibu pun takkan mampu menyelamatkanku dari malapetaka ini. Bukannya aku tak mau dijodohkan, tapi menikah itu haruslah dipikirkan matang-matang, harus saling mengenal satu sama lain dan yang pasti haruslah saling mencintai. “Kalau begitu, Bapak saja yang menikah!” teriakku dari dapur. Sore itu benar-benar sore paling menyedihkan dalam hidupku. “Nek kowe isih gelem dadi anakku, kowe kudu manut Bapak!”6 Ingin rasanya aku minggat dari rumah. Kalau bukan karena ibu, mungkin aku sudah benar-benar pergi. Ibu mencoba menghiburku dengan menceritakan semua hal tentang calon suamiku nanti. Tapi aku malah bertambah sedih karenanya.


Keajaiban apa yang kutunggu, seminggu sudah aku mengurung diri dikamar, tak pergi melaut bahkan tak mandi namun bapak tetap saja kekeh dengan pendiriannya. Dalam hati, aku terus berharap agar bapak mau mengabulkan permohonanku untuk tak menikah buru-buru tapi. Untuk masalah makanan, kusuruh Ali mengirimiku kue apem lewat jendela tanpa sepengetahuan bapak dan ibu demi lancarnya misi meminta belas kasihan bapak. Dalam diamku, kubuka lagi catatan-catatan yang telah kutoreh dibuku pemberian Paman Seto. Kuteruskan lagi bait-bait tulisan tentang impianku dengan penuh harapan. Harapan masa depan yang lebih indah dari hari ini.


Beberapa hari kemudian, nasib baik berpihak kepadaku. Aku mendengar suara motor berhenti di pekarangan rumah. “Assalamualaikum…” sapa seseorang bersuara khas yang tak lain dan tak bukan adalah Paman Seto. Aku menghampiri paman dengan penuh suka cita. Kuadukan perjodohan yang sama sekali tak pernah kuharapkan itu, disaksikan oleh bapak. “Aku ingin menikmati masa mudaku, Paman. Aku ingin menjadi Kartini masa kini, bukan wanita lemah yang hanya bisa meminta belas kasihan dari kaum lelaki.” Aku berusaha meyakinkan paman bahwa pilihan bapak untuk menjodohkanku itu adalah pilihan yang sangat salah.“Apa yang bisa kamu perjuangkan?” tanya paman. “Aku bisa baca tulis.” jawabku yakin. “Baca tulis itu hanya kemampuan dasar, nggak ada artinya. Apa yang kamu banggakan Nis…Nis!” bantah bapak tak terima. “Kemampuan baca tulismu mungkin bisa menjadi modal awal perjuanganmu, Nis.” paman membelaku.” “Kamu ini Seto, malah membela yang salah.”  bantah bapak lagi. Paman hanya bisa menggelengkan kepala melihat bapak yang hampir kalap karenaku. “Begini saja, Kang7. Biar Nisa ikut saya ke Yogyakarta. Disana, dia bisa mencari jati dirinya. Setahun mungkin cukup, sambil menunggu umurnya matang” paman mencoba meyakinkan bapak. Tak salah pilih aku meminta bantuan Paman Seto, dia memang pandai meluluhkan hati bapak. Akhirnya, aku bisa sedikit bernafas lega karena bapak menyetujui rencana paman tersebut.


Disisi lain, ibu tak rela melepasku pergi. Maklum, aku adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Sebenarnya aku pun tak mampu walau sehari tanpa ibu. Tapi ini demi kebaikan dan masa depanku nanti. Hidup hanya sekali dan aku harus memanfaatkan hidup ini dengan sebaik-baiknya. Dengan hati sedih bercampur bahagia, kukemasi pakaian dan barang-barang yang mungkin kubutuhkan setibanya di Yogyakarta nanti.


Air mata ibu yang sedari tadi menemani persiapan keberangkatanku telah mengusik ketenangan hati ini. Apa aku sanggup meninggalkan ibu disini sendiri? Ah tak apa, ada bapak yang akan menemaninya, pikirku singkat. Kuhampiri ibu yang duduk terdiam di kamarku. Beliau masih menangis terisak. Ku usap airmatanya, kugenggam kedua tangannya dan sedikit kupaksa beliau untuk mengerti keadaanku. “Nisa kedah kesah, Bu. Nisa mboten purun dados tiyang ingkang mboten anggadahi impian. Nisa kedah nguyak impian Nisa, Bu.”8 Tangisan ibu pun semakin menjadi. Aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik saat nanti kembali. Ali yang tahu kalau aku akan pergi ke Yogyakarta juga tak kalah sedihnya dengan ibu. Aku hanya berpesan padanya untuk menjadi orang yang selalu belajar dan bersyukur serta pantang menyerah oleh apapun.


“Ibu maafkan Nisa dan doakan Nisa, Bu!”, batinku sambil melambaikan tanganku pada bapak, ibu dan Ali hingga mereka tak terlihat lagi oleh pandanganku. Hari itu juga aku dan paman berangkat ke Yogyakarta. Perjalanan tersebut terasa panjang dan melelahkan tapi aku bisa melihat cahaya impian dilangit sana.


“Mbak Nisa, jangan lupa nanti sore kita akan mengunjungi anak-anak di dusun Gemah Ripah, Mbak.” Ucapan sekretarisku membuyarkan lamunanku. Ya…kini aku menjadi seorang pemilik yayasan peduli pendidikan bagi anak-anak pinggiran. Aku dan para sahabat serta karyawanku bertekad untuk memberantas buta pendidikan terutama untuk anak pinggiran dan anak jalanan. Jangan takut bermimpi, karena awal tercapainya mimpi adalah dengan bermimpi. Kini aku juga telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Telah kutemukan cinta sejatiku diantara milyaran laki-laki di luar sana dan aku sungguh-sungguh mencintainya karena aku cinta, bukan karena paksaan. Kami selalu menyempatkan waktu untuk pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi Bapak, Ibu dan anak kami, Akbar yang kami titipkan kepada Bapak dan Ibu di desa sebagai teman masa tua mereka…


happily ever after


CATATAN:
1  “Anakmu itu apa sudah benar-benar gila, Pak? Sekolah saja tidak pernah kok mau 
    mendirikan sekolahan.”

2  “Iya, apa yang akan diajarkan? Menjaring ikan? Hahaha… Ada-ada saja Pak…Pak.”

3  Pak, dipanggil ibu”

4  “Masak apa, Bu? Ayo makan bareng-bareng, sini!”

5  “Tiga puluh ribu, Mbak!”

6  “Kalau kamu masih mau jadi anakku, kamu harus patuhi perintah Bapak!”

7    Mas

8  “Nisa harus pergi, Bu. Nisa tidak mau menjadi orang yang tidak mempunyai impian. Nisa


    harus mengejar impian Nisa, Bu.”

***
Ilustrasi: pinterest.com

Komentar

Postingan Populer